azimsmile46

Just another WordPress.com site

stem cell

  1. A.    Teknologi Stem Cell (Sel Punca, Sel Induk) sebagai Hasil Perkembangan Biologi Modern dan Masalah Etika yang Muncul

Pengobatan penyakit secara konvensional dilakukan dengan pemberian zat-zat kimia yang disebut dengan obat-obatan kimia. Pengobatan dengan bahan kimia ini, di satu sisi kadang menyembuhkan, namun di sisi lain sering pula muncul efek samping yang tidak diinginkan. Sehingga obat kimia sering pula mendapat sebutan madu dan racun. Teknik pengobatan penyakit semacam ini, akan mulai tergeser dengan teknik pengobatan lain yakni penggantian spare part manusia. Dengan demikian, kalau ada seseorang menderita penyakit jantung, bukan diberikan obat-obat kimia, namun diberikan sel-sel baru yang akan menggantikan jantung yang rusak tersebut. Teknologi inilah yang disebut dengan Teknologi Stem Cell (Stem Sel atau Sel Punca). Pengembangan stem sel memberi harapan bagi penyembuhan berbagai penyakit yang belum ada obatnya sampai saat ini.

Stem sel atau sel punca atau sel induk (bahasa Inggris: stem cell) merupakan sel yang belum berdiferensiasi (belum terspesialisasi menjadi sel tertentu), mempunyai potensi untuk dapat berdiferensiasi menjadi jenis sel lain. Stem sel atau sel induk selain mampu berdiferensiasi menjadi berbagai sel matang , juga mampu meregenerasi dirinya sendiri. Kemampuan tersebut memungkinkan stem sel (sel induk) menjadi sistem perbaikan tubuh dengan cara menyediakan sel-sel baru selama organisme bersangkutan hidup, atau dengan prinsip sel-sel yang rusak akibat penyakit dapat diganti dengan sel-sel yang baru (Djati, 2003; Lanza dan Nadia, 2004; Tadjudin, tanpa tahun).

            Berdasarkan sumbernya, sel induk dibagi menjadi stem sel embrionik dan  stem sel dewasa. Stem sel embrionik adalah sel yang diambil dari inner cell mass, suatu kumpulan sel yang terletak di satu sisi blastocyst yang berusia lima hari dan terdiri atas seratus sel. Blastocyst adalah perkembangan lebih lanjut dari zigot (hasil pembuahan sel telur oleh sel sperma). Sel ini dapat berkembang biak dalam media kultur optimal menjadi berbagai sel, seperti sel jantung, sel kulit, dan saraf (lihat Gambar 3).
Sumber lain adalah stem sel dewasa, yakni sel induk yang terdapat di semua organ tubuh, terutama di dalam sumsum tulang dan berfungsi untuk memperbaiki jaringan tubuh yang mengalami kerusakan. Stem sel dewasa dapat diambil dari fetus (janin), sumsum tulang, dan tali pusat. Sel induk embrionik maupun sel induk dewasa sangat besar potensinya untuk mengobati berbagai penyakit degeneratif, seperti infark jantung, stroke, parkinson, diabetes, berbagai macam kanker terutama kanker darah, dan osteoarthritis (radang sendi).
Gambar 3. Sel Telur Setelah Pembuahan oleh Sperma, Berkembang Menjadi
             Blastocyst (di dalam Blastocyst terdapat Inner Mass Cell yang
                   Merupakan Sel Stem atau Sel Punca), Sel Stem dapat Ditumbuh-
                   kan Menjadi Berbagai Sel/Jaringan Pembentuk Organ Tubuh
Sel stem embrionik lebih mudah dikembangkan menjadi berbagai macam jaringan sel sehingga dapat dipakai untuk transplantasi jaringan yang rusak. Keuntungan lain dari sel induk dari embrio diantaranya ia mudah didapat dari klinik yang menangani masalah kesuburan, dan bersifat pluripoten sehingga dapat berdiferensiasi menjadi segala jenis sel dalam tubuh.
            Sementara sel induk dewasa dapat diambil dari sel pasien sendiri sehingga menghindari terjadinya penolakan oleh si pasien. Kekurangannya, sel induk dewasa ini jumlahnya sedikit, sangat jarang ditemukan pada jaringan dewasa, masa hidupnya tidak selama sel induk dari embrio, dan bersifat multipoten sehingga diferensiasinya (kemampuan untuk membentuk sel-sel lain) tidak seluas apabila sel induk berasal dari embrio.  Secara skematis potensi sel induk dewasa (berasal dari sumsum tulang) disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4. Bagan Potensi Stem Sel Dewasa untuk Berdifferensiasi
                             Menjadi Berbagai Macam Sel
            Di samping dari sumsum tulang, stem sel atau sel induk dewasa juga dapat diperoleh dari darah tali pusat bayi. Darah di dalam ari-ari dan tali pusat mengandung berjuta-juta sel induk pembentuk darah yang sejenis dengan sel induk yang ditemukan di dalam sumsum tulang (Kusmaryanto, 2005). Hal ini semakin meyakinkan kita bahwa segala ciptaan Allah s.w.t ini tidak ada yang sia-sia, sebagaimana telah dikemukakan  dalam al-Qur’an Surat Ali Imron 191. Ari-ari atau tali pusat yang pada awalnya dianggap sesuatu yang tidak berguna, ternyata memiliki manfaat. Setelah diteliti lebih lanjut, banyak keuntungan yang ditawarkan dibandingkan dengan transplantasi sumsum tulang. Stem sel dewasa dari darah tali pusat memiliki kemampuan proliferasi (memperbanyak diri) yang lebih tinggi daripada dari sumsum tulang. Selain itu, pencangkokan dengan menggunakan sel induk dewasa dari darah tali pusat ini memiliki tingkat kecocokan lebih tinggi bila dibandingkan dari sumsum tulang.

Masalah Etika Teknologi Stem Sel

            Sejauh ini, penggunaan sel stem embrionik masih dibayangi masalah etika (Kusmaryanto, 2005; Tadjudin, tanpa tahun). Permasalahan etika itu muncul karena sumber sel induk adalah berupa embrio. Etika yang dilanggar adalah menyembuhkan dengan cara membunuh (embrio tidak dapat melangsungkan kehidupannya karena diambil inner cell mass-nya). Di sisi lain, sel induk dari embrio ini ini lebih berpotensi berkembang menjadi berbagai jenis sel yang menyusun aneka ragam organ tubuh. Secara ringkas, yang menjadi pokok permasalahan adalah status embrio itu sendiri.
            Ibrahim (2003) mengemukakan embrio baru menjadi manusia sesudah diberi ruh yang berasal dari ruh Allah (Q.S. as-Sajdah: 9):

¢OèO çm1§qy™ y‡xÿtRur ÏmŠÏù `ÏB ¾ÏmÏmr•‘ ( Ÿ@yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noy‰Ï«øùF{$#ur 4 Wx‹Î=s% $¨B šcrãà6ô±n@ ÇÒÈ

9. Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.

Juga al-Qur’an Surat Shaad: 72:

#sŒÎ*sù ¼çmçG÷ƒ§qy™ àM÷‚xÿtRur ÏmŠÏù `ÏB ÓÇrr•‘ (#qãès)sù ¼çms9 tûïωÉf»y™ ÇÐËÈ

72. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; Maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadaNya”.

…. Yang ditiupkan kepadanya pada usia kandungan 120 hari (Hadits Riwayat Bukhari Muslim).

Dikemukakan lebih lanjut oleh Ibrahim (2003), sejak berupa sperma, jadi sebelum terjadinya konsepsi (pembuahan) sudah merupakan living material. Akan tetapi karena Nabi s.a.w membolehkan azl (sexual interruptus atau sanggama terputus) yang menyebabkan terjadinya kematian sperma yang tertumpahkan itu, maka berarti boleh mematikan sperma. Sedang jika sperma tersebut telah menyatu dengan ovum yakni telah terjadi konsepsi, sekalipun belum menjadi manusia karena belum diberi ruh, namun membunuhnya sudah terlarang. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa zigot tersebut merupakan cikal bakal manusia yang secara fisik sudah terbentuk dengan dua unsur fisik utamanya, yaitu sperma dan ovum, walaupun belum dapat disebut manusia.

Kusmaryanto (2005) mengatakan hak paling dasar adalah hak untuk hidup. Hidup manusia secara biologis dimulai sejak selesainya proses pembuahan dimana faktor-faktor kehidupan manusia yang berasal dari ayah dan ibu bersatu dan membentuk genom (perangkat gen) yang baru. Ini berarti sejak selesainya proses pembuahan, embrio sudah mempunyai hak untuk hidup. Dengan demikian, penggunaan stem sel atau sel induk dari embrio telah mengundang kontroversi. Di sinilah bioetika berperan untuk memberikan keputusan terkait teknologi stem sel.

            Upaya yang dilakukan menghadapi kontroversi ini antara lain dengan cara memperoleh embrio yang etis, yakni membuat embrio partenogenetik (embrio yang tidak dihasilkan dari pembuahan ovum oleh sperma). Pembentukannya dilakukan dengan penyuntikan suatu protein sperma pada sel telur yang memicu proses fertilisasi dan sel telur mulai membelah. Pembelahan sel telur ini hanya dapat berkembang sampai stadium blastosis dan sel induk embrio kemudian dapat dipanen (Tadjudin, tanpa tahun). Cara lain adalah dengan transfer inti DNA yang sudah diubah sehingga hasil fertilisasi tidak dapat berkembang jadi embrio atau fetus. Ia berhenti pada stadium blastosis. Menurut pendukung gagasan ini, gumpalan sel yang terbentuk tidak dapat disebut embrio karena tidak sempurna, dan dapat diambil stem selnya.
            Kloning embrio manusia untuk memperoleh sel induk juga menimbulkan kontroversi karena berhubungan dengan kloning manusia atau kloning reproduksi yang ditentang semua agama. Dalam proses pemanenan sel induk dari embrio terjadi kerusakan pada embrio yang menyebabkannya mati. Pandangan bahwa embrio mempunyai status moral sama dengan manusia menyebabkan hal ini sulit diterima. Oleh karena itu, pembuatan embrio hanya untuk tujuan penelitian merupakan hal yang tidak dapat diterima banyak pihak.
            Perdebatan tentang status moral embrio berkisar tentang apakah embrio harus diperlakukan sebagai manusia atau sesuatu yang berpotensi sebagai manusia, atau sebagai jaringan hidup. Pandangan yang moderat menganggap suatu embrio berhak mendapat penghormatan sesuai dengan tingkat perkembangannya. Semakin tua usia embrio, kian tinggi tingkat penghormatan yang diberikan. Pandangan liberal menganggap embrio pada stadium blastosis hanya sebagai gumpalan sel dan belum merupakan manusia sehingga dapat dipakai untuk penelitian. Namun, pandangan konservatif menganggap blastosis sebagai makhluk hidup (Tadjudin, tanpa tahun).

Untuk menghindari kontroversi terkait stem sel dari embrio,  Thomson dan Yamanaka menemukan pembuatan stem sel dari sel-sel kulit, dan dengan teknik yang sama bisa membuat sel telur dan sel sperma dari sel kulit. Sel sperma dan sel telur kemudian dipertemukan, dan terbentuk embrio yang digunakan untuk keperluan riset. Membuat embrio untuk hanya untuk keperluan riset, dan bukan untuk diimplantasikan ke dalam rahim, juga dianggap sebagai pelanggaran etika yang tidak bisa diterima.

Di dalam Islam sendiri, stem sel dari embrio inipun masih menimbulkan kontroversi. Terkait dengan status embrio, ada pula pendapat yang menganggapnya tidak sebagai manusia atau sebagai makhluk bernyawa, manakala ia masih dalam tahap awal (blastosis). Lebih lanjut, embrio-embrio yang kemudian ‘harus’ dihancurkan setelah diambil stem selnya, tidak dipandang sebagai pembunuhan makhluk hidup, karena mereka tidak pernah hidup sebelumnya.

Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa Rasulullah (saw.) pernah bersabda, “Jika nutfah (gumpalan darah hasil percampuran semen laki-laki dan perempuan) telah lewat 42 malam, maka Allah mengutus seorang malaikat kepadanya, lalu dia membentuk nutfah tersebut; dia membuat pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dan tulang belulangnya. Lalu malaikat itu bertanya (kepada Allah), ‘Ya Tuhanku, apakah dia (akan Engkau tetapkan) menjadi laki-laki atau perempuan?’ Maka Allah kemudian memberi keputusan…” (HR. Muslim)

Di dalam riwayat lain dikatakan, “(jika nutfah telah lewat) 40 malam.” Pandangan ini diperkuat oleh keputusan yang diberikan oleh Rasulullah (saw.) terkait aborsi janin. Imam Bukhari dan Imam Muslim, keduanya meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah (ra.) bahwa, “Rasulullah (saw.) memberi keputusan dalam masalah janin dari seorang perempuan Bani Lihyan yang digugurkan, dengan satu ghurrah, yaitu seorang budak  laki- laki atau perempuan..” Satu ghurrah adalah diyat yang setara dengan 1/10 diyat orang dewasa (jika diyat orang dewasa 100 ekor unta, maka diyat aborsi adalah 10 ekor unta). Ghurrah ini dibayarkan jika sang janin telah menunjukkan organ-organ manusia, seperti jemari tangan dan kaki, dan lain-lain, yang mengindikasikan bahwa sang janin telah berkembang menjadi manusia sempurna, meski ruh-nya baru dimasukkan oleh Allah pada hari ke-120. Oleh karena itu kezaliman terhadap manusia dilarang dan hal ini juga berlaku kepada janin, namun tidak berlaku bagi embrio yang berusia belum genap 40 hari.

Apa yang Harus Dilakukan terkait Teknologi Stem Sel?

Oleh karena stem sel atau sel induk yang berasal dari embrio tetap menimbulkan kontroversi, maka tindakan yang lebih bijaksana adalah penggunaan stem sel dewasa, misalnya dari sumsum tulang atau dari darah tali pusat bayi. Walaupun darah tali pusat adalah najis, namun dibalik itu terdapat manfaat yang sangat besar bagi pengobatan, misalnya pengobatan diabetes tipe I (bawaan), dengan cara transfusi darah tali pusatnya sendiri. Oleh karena itu, dewasa ini telah didirikan Bank Tali Pusat di Singapura. Dahlan Iskan (Direktur Utama PLN) dengan pengalaman ganti hati, telah melakukan penyimpanan darah tali pusat cucunya yang lahir kembar dengan menyimpannya di Singapura. Hal ini untuk jaga-jaga kelak di kemudian hari cucunya terkena penyakit, maka sudah tersedia spare part penggantinya yakni stem sel atau sel induk.

Penggunaan stem sel dewasa tidak berhubungan dengan membunuh embrio, dan dapat disamakan dengan donor organ yang tidak membahayakan jiwa pendonor. Firman Allah dalam Al-Qur’an Surat An-Nisaa’ ayat 29:

$yg•ƒr’¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù’s? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 Ÿwur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJŠÏmu‘ ÇËÒÈ

29.  Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.

Juga hadits yang diriwayatkan oleh Tsabit bin Adh-Dhohaak (ra.) yang mengatakan Rasulullah (saw.) pernah bersabda, “…dan siapa saja yang membunuh dirinya sendiri dengan sesuatu (alat/sarana), maka Allah akan menyiksa orang tersebut dengan alat/sarana tersebut dalam neraka Jahannam.” (HR. Muslim).

Stem sel dapat membantu dunia medis dan kemanusiaan. Namun, jika stem sel tersebut diambil dari jaringan dewasa milik orang yang sudah meninggal, maka hal tersebut tidak diperbolehkan, karena Islam telah memberikan derajat kesucian kepada orang yang telah mati. Diriwayatkan oleh A’isyah ummul mukminin (ra.) bahwa Rasulullah pernah bersabda, “Memecahkan tulang mayat itu sama dengan memecahkan tulang orang hidup.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban).

Kesucian orang yang telah meninggal bahkan berlaku hingga ke atas pekuburannya. Rasul pernah bersabda, sebagaimana disampaikan oleh Abu Hurairah, “Sungguh, jika seorang dari kalian duduk di atas bara api yang membakar, niscaya itu lebih baik daripada ia duduk di atas kuburan.” (HR. Muslim dan Ahmad). Dengan ini telah jelas bahwa Islam telah melindungi orang mati sebagaimana orang yang hidup, dan oleh karena itu, tidak diperbolehkan bagi kita untuk melanggar hak-hak orang mati.

Bagaimana bila stem sel berasal dari sisa embrio teknologi bayi tabung (In Vitro Fertilization atau IVF?) Dari perspektif syariat, hal ini diperbolehkan. Proses IVF sebenarnya adalah pembuahan di luar rahim, sehingga tidak otomatis melekat dan mencari penghidupan dari nutrisi pemberian ibu. Proses ini dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan stem sel-stem sel. Di bagian atas telah dikemukakan bahwa terkait dengan status embrio, Islam tidak menganggapnya sebagai manusia atau sebagai makhluk bernyawa, manakala ia masih dalam tahap awal (blastosis). Namun ternyata terdapat pula perbedaan pendapat terkait dengan status awal embrio ini. Banyak pihak yang menganggap bahwa sejak awal terjadinya fertilisasi (pembuahan sel sperma terhadap sel telur) itulah sudah dimulai kehidupan. Biologipun menyetujui pandangan ini. Dengan demikian, pengambilan stem sel dari embrio dianggap membunuh embrio. Maka dianggap tidak etis apabila menolong orang lain dengan cara membunuh. Oleh karena itu, untuk menghindari kontroversi ini, kemudian digunakan cara menggunakan embrio sisa-sisa dari program bayi tabung. Hal ini juga dilandasi pemikiran, kalau sisa-sisa embrio tersebut tidak digunakan, maka akan mubadzir. Lebih baik digunakan untuk produksi stem sel.

  1. B.     Kesimpulan

Stem sel merupakan harapan besar untuk terapi di masa depan. Berbagai penyakit degeneratif dan kondisi yang membutuhkan cangkok organ tubuh, Insya Allah akan dapat diatasi dengan stem sel. Termasuk pula tingginya anak-anak penderita autis pada saat ini dan berbagai penyakit syaraf, stem sel memberikan harapan yang besar. Terkait penggunaan stem sel dari embrio, apabila masih dapat digantikan oleh stem sel dewasa (sumsum tulang dan darah tali pusat), kenapa harus menggunakan stem sel embrio yang menimbulkan kontroversi? Melalui penggunaan prinsip bioetika Islam, penggunaan kedua macam sumber stem sel dapat menjadi bahan kajian. Bukankah kita memang diperintahkan untuk selalu mengkaji atau memikirkan ciptaanNya sebagaimana dalam al-Qur’an Surat Al-Ghaasyiyah 17:

Ÿxsùr& tbrãÝàYtƒ ’n<Î) È@Î/M}$# y#ø‹Ÿ2 ôMs)Î=äz ÇÊÐÈ

17. Maka Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana Dia diciptakan,

Bioetika memberikan perhatian yang besar kepada moralitas penerapan ilmu pengetahuan (biologi) dan teknologinya. Terkait hal ini, sabda Nabi Muhammad s.a.w., “Allah s.w.t akan mengoptimalkan siksa-Nya di hari kiamat kepada orang-orang berilmu yang ilmunya tidak memberi manfaat”,  dapat digunakan sebagai rujukan pentingnya moralitas ilmiah bagi penyandang ilmu (Fajar, 2005). Meskipun Al-Qur’an dan hadits Nabi s.a.w. berulangkali menyuruh ummat manusia mencari ilmu, namun kunci keselamatan manusia di dunia dan akhirat pada akhirnya tidaklah ditentukan oleh ilmu itu sendiri, tetapi oleh moralitas dan akhlaqnya.

  Sebagai penutup dapat dikemukakan bahwa manusia semakin lama keinginannya tidak semakin sedikit tetapi semakin berkembang. Di sisi lain teknologi memungkinkan manusia melakukan apa saja. Muncul pertanyaan, apakah sesuatu yang dapat dilakukan, juga selalu patut untuk dilakukan? Di sinilah bioetika diperlukan.

Daftar Pustaka:

Djati, M.S. 2003. Diskursus Teknologi Embryonic Stem Cells dan Kloning

dari Dimensi Bioetika dan Relegiositas (Kajian Filosofis dari Pengalaman Empirik). Jurnal Universitas Paramadina, 3(1): 102-123.

Kusmaryanto, C.B. 2005. Stem Sel Sel Abadi dengan Seribu Janji Terapi. Jakarta:

Grasindo.

Lanza, R. & Rosenthal, N. 2004. The Stem Cell Challenge. Scientific American.

290 (6): 61-67.

Mustofa, A. 2009. Heboh Spare Part Manusia. Surabaya: P A D M A Press.

Tadjudin, M.K. Tanpa Tahun. Aspek Bioetika Penelitian Stem Cell   (http://www.kalbe.co.id diakses 20 Agustus 2007).

5 Januari 2012 Posted by | Tak Berkategori | 2 Komentar

MASALAH-MASALAH BUDAYA

BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Perubahan cepat dalam teknologi informasi telah merubah budaya sebagian besar masyarakat dunia, terutama yang tinggal di perkotaan. Masyarakat di seluruh dunia telah mampu melakukan transaksi ekonomi dan memperoleh informasi dalam waktu singkat berkat teknologi satelit dan komputer. Pemerintah dan perusahaan-perusahaan besar mampu memperoleh kekuasaan melalui kekuatan militer dan pengaruh ekonomi. Bahkan perusahaan transnasional mampu menghasilkan budaya global melalui pasar komersil global.

Dalam konteks Indonesia, masyarakat konsumen Indonesia mutakhir tumbuh beriringan dengan sejarah globalisasi ekonomi dan transformasi kapitalisme konsumsi yang ditandai dengan menjamurnya pusat perbelanjaan bergaya seperti shopping mall, industri waktu luang, industri mode atau fashion, industri kecantikan, industri kuliner, industri nasihat, industri gosip, kawasan huni mewah, apartemen, iklan barang-barang mewah dan merek asing, makanan instan (fast food), serta reproduksi dan transfer gaya hidup melalui iklan dan media televisi maupun cetak yang sudah sampai ke ruang-ruang kita yang paling pribadi. Hal ini terjadi di banyak masyarakat perkotaan Indonesia.

1.2  Rumusan masalah

  1. Bagaimana cara menjaga budaya dalam kalangan masyarakat kota?
  2. Bagaimana peran masyarakat dan pemerintah dalam melestarikan budaya Indonesia.
  3. Bagaimana pengaruh perkembangan teknologi terhadap budaya Indonesia

1.3  Tujuan

  1. Menjaga budaya dalam kalangan masyarakat kota
  2. Peran masyarakat dan pemerintah dalam melestarikan budaya Indonesia
  3. Mengetahui pengaruh perkembangan teknologi terhadap budaya indonesia

BAB II

PEMBAHASAN

  1. A.    Dampak Budaya Global

Perubahan budaya lokal dan sosial akibat revolusi informasi ini tidak dapat dielakkan. Masyarakat perkotaan yang memiliki akses terhadap informasi merupakan kelompok masyarakat yang langsung terkena pengaruh budaya global. Akses informasi dapat diperoleh melalui media massa cetak maupun elektronik, internet, dan telepon. Masyarakat perkotaan dipengaruhi terutama melalui reproduksi  yang dilakukan oleh media massa (Chaney, 1996).

Dalam konteks Indonesia, masyarakat konsumen Indonesia mutakhir tumbuh beriringan dengan sejarah globalisasi ekonomi dan transformasi kapitalisme konsumsi yang ditandai dengan menjamurnya pusat perbelanjaan bergaya seperti shopping mall, industri waktu luang, industri mode atau fashion, industri kecantikan, industri kuliner, industri nasihat, industri gosip, kawasan huni mewah, apartemen, iklan barang-barang mewah dan merek asing, makanan instan (fast food), serta reproduksi dan transfer gaya hidup melalui iklan dan media televisi maupun cetak yang sudah sampai ke ruang-ruang kita yang paling pribadi. Hal ini terjadi di banyak masyarakat perkotaan Indonesia.

Budaya global seperti di atas telah menggusur budaya lokal Indonesia (Ibrahim, pengantar dalam Lifestyles oleh Chaney, 1996). Contoh untuk hal ini dapat kita lihat pada masyarakat keraton Indonesia. Dalam dua abad terakhir tata masyarakat kerajaan mulai memudar. Kedudukan bangsawan dikudeta oleh kaum pedagang dengan senjata teknologi dan uang. Legitimasi istana yang bersemboyan kawula gusti kini diinjak-injak oleh semangan individualisme, hak asasi, dan kemanusiaan. Mitos dan agama digeser sekularisme dan rasionalitas. Tata sosial kerajaan digantikan oleh nasionalisme. Akibat runtuhnya kerajaan yang mengayomi seniman-cendekiawan istana, berantakanlah kondisi kerja dan pola produksi seni-budaya istana (Heryanto, 2000).

B.  Pengaruh Perkembangan Teknologi Terhadap Budaya Indonesia

Sir Edward Tylor, kebudayaan adalah kompleks keseluruhan dari pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan semua kemampuan dan kebiasaan lain yang diperoleh seseorang sebagai anggota masyarakat. Berdasarkan pengertian tersebut, kebudayaan erat sekali kaitannya dengan masyarakat. Dengan demikian, dalam diri masyarakat tersebut pasti mempunyai rasa tanggung jawab untuk menjaga dan melestarikannya.

Namun seiring dengan perkembangan teknologi yang semaikin maju, rasa tanggung jawab itu sudah semakin pudar. Masyarakat tidak lagi peduli dengan budayanya. Hal ini dikarenakan semakin gencarnya media elektronik, khususnya televisi, yang menayangkan budaya- budaya barat. Hal ini dengan mudah merusak pola pikir masyarakat khususnya generasi muda. Mereka cenderung melupakan kebudayan bangsa sendiri dan beralih ke budaya barat yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia. Hal ini tidak akan terjadi apabila televisi membatasi dan memfilter acara yang ditayangkan.

Televisi seharusnya bisa menampilkan wajah seni dan budaya Indonesia, acara tersebut bisa juga dikemas secara profesional misalnya melibatkan artis terkenal yang mampu menjadi daya tarik sebuah kesenian. Atau bisa juga dalam bentuk festival yang bisa secara rutin diselenggarakan misalnya setiap bulan, dengan adanya acara festival secara rutin, diharapkan bangsa Indonesia akan mengenal dan mencintai seni dan budayanya sendiri.

Budaya yang dikembangkan oleh manusia akan berimplikasi pada lingkungan tempat kebudayaan itu berkembang. Suatu kebudayaan memancarkan suatu ciri khas dari masyarakatnya yang tampak dari luar. Dengan menganalisis pengaruh akibat budaya terhadap lingkungan seseorang dapat mengetahui, mengapa suatulingkungan tertentu akan berbeda dengan lingkungan lainnya dan mengasilkan kebudayaan yang berbeda pula.

Beberapa variabel yang berhubungan dengan masalah kebudayaan dan lingkungan:

  1. Phisical Environment yaitu lingkungan fisik menunjuk kepada lingkungan natural seperti flora, fauna, iklim dan sebagainya.
  2. Cultural Social Environment, meliputi aspek-aspek kebudayaan beserta proses sosialisanya seperti : norma-norma, adat istiadat dan nilai-nilai.
  3. Environmental Orientation and Representation, mengacu pada persepsi dan kepercayaan kognitif yang berbeda-beda pada setiap masyarakat mengenai lingkungannya.
  4. Environmental Behaviordan and Process, meliputi bagaimana masyarakat menggunakan lingkungan dalam hubungan sosial.
  5. Out Carries Produc, Meliputi hasil tindakan manusia seperti membangun rumah, komunitas dan sebagainya.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kebudayaan yang berlaku dan dikembangkan dalam lingkungan tertentu berimplikasi terhadap pola tata laku, norma, nilai dan aspek kehidupan lainnya yang menjadi ciri khas suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya.

C.  Peran Masyarakat dan Pemerintah dalam Melestarikan Budaya Indonesia

Kebudayaan adalah hasil cipta, karsa dan rasa manusia oleh karenanya kebudayaan mengalami perubahan dan perkembangan sejalan dengan perkembangan manusia itu. Perkembangan tersebut dimaksudkan untuk kepentingan manusia itu sendiri, karena kebudayaan diciptakan oleh dan untuk manusia.

Kebudayaan yang dimiliki suatu kelompok sosial tidak akan terhindar dari pengaruh kebudayaan kelompok-kelompok lain dengan adanya kontak-kontak antar kelompok atau melaui proses difusi. Suatu kelompok sosial akan mengadopsi suatu kebudayaan tertentu bilamana kebudayaan tersebut berguna untuk mengatasi atau memenuhi tuntunan yang dihadapinya.

Pengadopsian suatu kebudayaan tidak terlepas dari pengaruh faktor-faktor lingkungan fisik. Misalnya iklim topografi sumber daya alam dan sejenisnya. Dari waktu ke waktu, kebudayaan berkembang seiring dengan majunya teknologi (dalamhal ini adalah sistem telekomunikasi) yang sangat berperan dalam kehiduapan setiap manusia.

Perkembangan zaman mendorong terjadinya perubahan-perubahan disegala bidang, termasuk dalam kebudayaan. Mau tidak mau kebudayaan yang dianut suatu kelompok sosial akan bergeser. Suatu kelompok dalam kelompok sosialbisa saja menginginkan adanya perubahan dalam kebudayaan yang mereka anut, dengan alasan sudah tidak sesuai lagi dengan zaman yang mereka hadapi saat ini. Namun, perubahan kebudayaan ini kadang kala disalah artikan menjadi suatu penyimpangan kebudayaan.

Hal yang terpenting dalam proses pengembangan kebudayaan adalah dengan adanya kontrol atau kendali terhadap prilaku reguler (yang tampak) yang ditampilkan oleh para penganut kebudayaan. Karena tidak jarang perilaku yang ditampilkan sengat bertolak belakang dengan budaya yang dianut didalam kelompok sosial yang ada di masyarakat. Sekali lagi yang diperlukan adalah kontrol / kendali sosial yang ada di masyarakat sehingga dapat memilah-milah mana kebudayaan yang sesuai dan mana yang tidak sesuai.

Kesenian dan kebudayaan merupakan dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Kesenian dapat menjadi wadah untuk mempertahankan identitas budaya Indonesia. Faktanya, sekarang ini identitas budaya Indonesia sudah mulai memudar karena arus global. Sehingga kondisi yang mengkhawatirkan ini perlu segera diselamatkan. Hal ini semakin diperparah dengan diakuinya budaya indonesia oleh bangsa lain. Masalah yang sedang marak baru-baru ini adalah diakuinya lagu daerah “Rasa Sayang-sayange” yang berasal dari Maluku, serta “Reog Ponorogo” dari Jawa Timur oleh Malaysia. Hal ini disebabkan oleh kurang pedulinya bangsa indonesia terhadap budayanya. Namun ketika kebudayaan itu diakui oleh bangsa lain, indonesia bingung. Berita terbaru menyebutkan bahwa kesenian “angklung” dari Jawa Barat juga mau dipatenkan oleh negara tersebut. Lalu dimanakah peran masyarakat dan pemerintah dalam hal ini?

Kebudayaan nasional adalah kebudayan kita bersama yakni kebudayaan yang mempunyai makna bagi kita bangsa indonesia. Kalau bukan kita lalu siapa lagi yang akan menjaga dan meletarikannya. Seharusnya sebagai warga negara indonesia patut bangga dengan mempunyai kekayaan budaya. Hal ini sebenarnya akan menimbulkan rasa tanggung jawab untuk melestarikan kebudayaan tersebut. Sebagai warga negara kita hendaknya menanggapi dengan arif pengaruh nilai-nilai budaya barat untuk mengembangkan dan memperkaya, serta meningkatkan kebudayaan nasional dengan cara menyaring kebudayaan itu. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengambil nilai yang baik dan meninggalkan nilai yang tidak sesuai dengan kebudayaan kita.

Begitu juga halnya dengan pemerintah, pemerintah harus tegas dalam menjaga dan melestarikan kebudayaan indonesia dengan cara membuat peraturan perundangan yang bertujuan untuk melindungi budaya bangsa. Dan jika perlu pemerintah harus mematenkan budaya-budaya yang ada di Indonesia agar budaya-budaya bangsa tidak jatuh ke tangan bangsa lain. Pemerintah harus membangun  sumber daya manusia dan meningkatkanan daya saing bangsa dapat dilakukan dengan menanamkan norma dan nilai luhur budaya Indonesia sejak dini, dengan cara sosialisasi nilai budaya yang ditanamkan kepada anak sejak usia  prasekolah. Hal ini ditujukan untuk mengangkat kembali identitas bangsa Indonesia.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari pembahasn masalah- masalah diatas, kita dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:

  1. Kita Harus menjaga serta lebih peduli dengan produk Indonesia
  2. Pemerintah harus lebih menjaga dan mengenali produk Indonesia sebelum Di ambil oleh Negara Lain.
  3. Kita juga melestarikan kebudayaan Indonesia seperti kesenian dan wisata kuliner Indonesia yang telah di klaim Malaysia sebagai kesenian & wisata kuliner khas Negara maupun lagu kenegaraannya.
  4. Indonesia mempunyai beraneka ragam budaya
  5. Perkembangan teknologi mempunyai dampak negatif terhadap kebudayaan indonesia.
  6. Peran serta masyarakat dan pemerintah sangat berpengaruh terhadap kelangsungan budaya di indonesia.

3.2 Saran

Seperti yang telah di jelaskan diatas kelangsungan kebudayaan Indonesia sangat bergantung kepada masyarakat itu sendiri. Warga Negara bertanggung Jawab untuk menjaga dan melestarikan budaya Indonesia agar tetap utuh dan tidak punah/tidak jatuh ketangan Negara lain

DAFTAR PUSTAKA

 

Clemens, M. 2008. Ilmu Sosial Budaya. Surabaya : Sinar Wijaya

Chaney, 1996. Dampak Budaya Global. Jakarta : Penebar Swada.

Heryanto.2000. Manusia dan Kebudayaan. Jakarta : Penebar Swada.

Jasin, Maskoeri. 1984.Mengenal Lebih Dekat Budaya Indonesia. Surabaya : Sinar wijaya ya.

Susanto, Heru. 2007.Sosiologi. . Jakarta: Erlangga

 

23 Mei 2011 Posted by | Tak Berkategori | Tinggalkan komentar

Mazhab Imam Syafi’i dan Imam Hambali

BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Pertumbuhan dan perkembangan fiqih menunjukkan pada suatu dinamika pemikiran keagamaan yang sangat penting bagi perkembangan keislaman. Hal tersebut merupakan persoalan yang tidak pernah usai di manapun dan kapanpun, terutama dalam masyarakat-masyarakat agama yang sedang mengalami modernisasi. Di lain pihak, evolusi historikal dari perkembangan fiqih secara sungguh-sungguh telah menyediakan frame work bagi pemikiran Islam, atau lebih tepatnya actual working bagi karakterisitik perkembangan Islam itu sendiri.
Kehadiran fiqih ternyata mengiringi pasang-surut perkembangan Islam, dan bahkan secara amat dominan, fiqih — terutama fiqih abad pertengahan — mewarnai dan memberi corak bagi perkembangan Islam dari masa ke masa. Karena itulah, kajian-kajian mendalam tentang masalah kesejahteraan fiqih tidak semata-mata bernilai historis, tetapi dengan sendirinya menawarkan kemungkinan baru bagi perkembangan Islam berikutnya.
Jika kita telusuri sejak saat kehidupan Nabi Muhammad saw, para sejarahwan sering membaginya dalam dua priode yakni periode Mekkah dan periode Madinah. Pada periode pertama risalah kenabian berisi ajaran-ajaran akidah dan akhlaq, sedangkan pada periode kedua risalah kenabian lebih banyak berisi hukum-hukum. Dalam mengambil keputusan masalah amaliyah sehari-hari para sahabat tidak perlu melakukan ijtihad sendiri, karena mereka dapat langsung bertanya kepada Nabi jika mereka mendapati suatu masalah yang belum mereka ketahui. Sampai dengan masa empat khalifah pertama hukum-hukum syariah itu belum dibukukan, dan belum juga diformulasikan sebagai sebuah ilmu yang sistematis. Kemudian pada masa-masa awal periode tabi’in (masa Dinasti Umayyah) muncul aliran-aliran dalam memahami hukum-hukum syariah serta dalam merespon persoalan-persoalan baru yang muncul sebagai akibat semakin luasnya wilayah Islam, yakni ahl al-hadis dan ahl al-ra’y. Aliran pertama, yang berpusat di Hijaz (Mekkah-Madinah), banyak menggunakan hadis dan pendapat-pendapat sahabat, serta memahaminya secara harfiah. Sedangkan aliran kedua, yang berpusat di Irak, banyak menggunakan rasio dalam merespons persoalan baru yang muncul. Perbedaan pendapat dalam lapangan hukum tersebut merupakan sebuah hasil penelitian (ijtihad), hal ini tidak perlu dipandang sebagai faktor yang melemahkan kedudukan hukum Islam, akan tetapi sebaliknya bisa memberikan kelonggaran kepada orang banyak sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi pada sebuah hadis:

2        اختلاف امتى رحمة (رواه البيهقى فى الرسالة الاشعرية

Yang maksudnya : “Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat” (HR. Baihaqi dalam Risalah Asy’ariyyah).

Sabda tersebut memiliki makna bahwa orang bebas memilih salah satu pendapat dari pendapat yang banyak itu, dan tidak terpaku hanya kepada satu pendapat saja. Bermadhab memiliki arti melaksanakan dan mengamalkan hasil ijtihad para imam-imam mujtahid seperto Maliki, Syafi’i dan lain-lain adalah wajib begi setiap orang islam yang belum mampu melakukan ijtihad, sebab mazhab-mazhab yang mereka bina merupakan hasil ijtihad. Proses ijtihad semata-mata merupakan proses penggalian isi Al-Qur’an dan Hadist untuk mendapatkan suatu hukum yang kongkrit dan positif. Banyak yang menyadari dan beranggapan bahwa mazhab merupakan hasil karya manusia dan fiqih merupakan kumpulan hukum yang dikarang oleh orang alim tanpa menyadari bahwa dasar penyusunan mazhab atau ilmu fikih adalah Al-Qur’an dan Hadist (Tohir, 1983).

Pentingnya pemahaman tentang mazhab mengharuskan untuk mengakaji terkait hal-hal yang berhubungan dengan mazhab tersebut, sehingga kita dapat meyakini dan mengiuti tuntunan yang dianjurkan dalam mazhab tersebut. Atas dasar tersebut maka makalah kali ini sehingga dalam makalah ini akan dibahas tentang Mazhab Syafi’i dan Mazhab dan Mazhab Hambali yang diharapkan dapat memberikan manfaat dan informasi seputar mazhab tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

            Rumusan masalah yang digunakan dalam makalah ini adalah:

            1. Siapa pendiri Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hambali?

2. Bagaimana metode dalam penetapan hukum dari masing-masing mazhab tersebut?

3. Apa saja kitab-kitab yang terdapat pada masing-masing mazhab tersebut?

1.3 Tujuan

            Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:

            1. Untuk mengetahui pendiri Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hambali.

2. Untuk mengetahui metode yang digunakan dalam menetapkan hukum dari masing- masing mazhab tersebut.

3. Untuk mengetahui kitab-kitab yang terdapat pada masing-masing mazhab tersebut.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Mazhab

Kata mazhab berasal dari bahasa Arab yaitu isim makan (kata benda keterangan tempat) dari akar kata dzahab (pergi) (Al-Bakri, I‘ânah ath-Thalibin, I/12). Jadi, mazhab itu secara bahasa artinya, “tempat pergi”, yaitu jalan (ath-tharîq) (Abdullah, 1995: 197; Nahrawi, 1994:208).

Secara terminologis pengertian mazhab menurut Huzaemah Tahido Yanggo, adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam mujtahid dalam memecahkan masalah, atau mengistinbatkan hukum Islam. Sedangkan menurut istilah ushul fiqih, mazhab adalah kumpulan pendapat mujtahid yang berupa hukum-hukum Islam, yang digali dari dalil-dalil syariat yang rinci serta berbagai kaidah (qawâ’id) dan landasan (ushûl) yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terkait satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh (Nahrawi, 1994: 208; Abdullah, 1995: 197). Menurut Muhammad Husain Abdullah (1995:197), istilah mazhab mencakup dua hal: (1) sekumpulan hukum-hukum Islam yang digali seorang imam mujtahid; (2) ushul fikih yang menjadi jalan (tharîq) yang ditempuh mujtahid itu untuk menggali hukum-hukum Islam dari dalil-dalilnya yang rinci .
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan dua unsur mazhab ini dengan berkata, “Setiap mazhab dari berbagai mazhab yang ada mempunyai metode penggalian (tharîqah al-istinbâth) dan pendapat tertentu dalam hukum-hukum syariat.” (Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, II/395).

            Kata mazhab merupakan sighat isim makan dari fi’il madli zahaba. Zahaba artinya pergi, sehingga mazhab memiliki arti  tempat pergi atau jalan. Kata-kata yang semakna ialah  maslak, thariiqah dan sabiil yang kesemuanya berarti jalan atau cara. Pengertian mazhab menurut istilah dalam kalangan umat Islam ialah sejumlah dari fatwa-fatwa dan pendapat-pendapat seorang alim besar di dalam urusan agama, baik ibadah maupun lainnya. Setiap mazhab punya guru dan tokoh-tokoh yang mengembangkannya. Berkembangnya suatu mazhab di sebuah wilayah sangat bergantung dari banyak hal, salah satunya dari keberadaan pusat-pusat pengajaran mazhab itu sendiri.

Berdasarkan keberadaannya, mazhab fiqh ada yang masih utuh dan dianut oleh masyarakat tertentu, namun ada pula yang telah punah. Menurut aspek teologis, mazhab fiqh dibagi dalam dua kelompok, yaitu Mazhab Ahlussunnah dan Mazhab Syi’ah. Mazhab yang termasuk dalam mazhab Ahlussunah adalah Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i serta Mazhab Hanbali, sedangkan yang termasuk dalam Mazhab Syiah adalah Mazhab Syiah Zaidiyah, Mazhab Syiah serta Mazhab Syiah Imamiyah, selain mazhab yang telah disebutkan juga masih terdapat banyak mazhab yang keberadaannya telah punah diantaranya adalah Mazhab Ath-Thabari dan Mazhab az-Zahir, Mazhab Al-Auza’i dan lain-lain.

2.2 Mazhab Syafi’i

2.2.1 Pendiri Mazhab

Mazhab Syafi’i didirikan oleh Muhammad ibn Idris Al-Syafi’i Al-Quraisy yang seringkali dikenal dengan sebutan Imam Syafi’i. Beliau dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Imam Syafi’i dibesarkan dalam kondisi keluarga yang miskin dan dalam keadaan yatim tetapi beliau tidak merasa rendah diri ataupun malas, sebaliknya beliau giat belajar hadist dari para ulama hadist yang terdapatdi kota Makkah dan pada masa usianya yang masih kecil beliau telah hafal Al-Qur’an.

Guru Imam Syafi’i yang pertama adalam Muslim bin Khalid seorang mufti dari Makkah. Imam Syafi’i adalah seorang yang cerdas otaknya, kuat ingatannya hingga beliau sanggup hafal Al-Qur’an pada usia yang cukup muda yaitu pada usia 9 tahun. Setelah beliau hafal Al-Qur’an barulah mempelajari bahasa dan syi’ir, kemudian beliau mempelajari hadist dan fiqih. Imam Syafi’i adalah salah seorang murid Imam Malik yang sewaktu  belajar ternyata beliau telah hafal kitab Imam Malik, yaitu kitab Al Muwatho’ yang dianggap sebagai kitab induk dari Mazhab Maliki. Pada mulanya beliau mengikuti jejak Imam Maliki, tetapi setelah memperoleh pengetahuan dan pengalaman yang luas maka beliau membentuk mazhab tersendiri (Mansur, 1984).

Tahun 198 H, beliau pergi ke Negari Mesir. Beliau mengajar di masjid Amr ibn Ash serta menulis Kitab Al-Umm, Amali Kubra, Kitab Risalah, Ushul Al-Fiqih dan memperkennalkan Qaul Jadid sebagai mazhab baru. Imam syafi’i dikenal sebagai orang yang pertama kali memelopori pertama kali penulisan dalam bidang tersebut. Di Mesir inilah Imam Syafi’i wafat setelah menyebarkan ilmu dan manfaat kepada banyak orang. Murid-murid beliau yang terkenal adalah ibn Abdullah ibn Al-Hakam, Abu Ibrahim ibn Ismail ibn Yahya Al-Muzanni, serta Abu Ya’qub Yusub ibn Yahya Al-Buwaiti dan sebagainya.

Madzhab Syafi’i, satu dari sekian banyak madzhab fiqih yang sampai saat ini masih mendapat apresiasi luar biasa dari mayoritas kaum muslimin dunia. Keunggulan utama Madzhab Syafi’i terletak pada sifatnya yang moderat. Di awal pertumbuhannya, pendiri madzhab ini Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (150-204 H), mengakomodasi dua aliran hukum Islam yang berkembang saat itu, yaitu aliran tekstualis (madrasatul hadits) dan aliran rasionalis (madrasatur ra’y). Hasil kolaborasi keduanya dapat dilihat dari produk hukum Imam Syafi’i yang selalu mengacu pada substansi nash (al-Qur’an dan as-Sunnah), dan dalam kasus tertentu dipadukan dengan dalili analogi (qiyas). Sebagai Bapak Ushul Fiqih, Imam Syafi’i mewariskan seperangkat metode istimbath hukum yang berfungsi untuk menganalisa beragam kasus hukum baru yang terjadi di kemudian hari. Dari tangan Imam Syafi’i lahir ribuan ulama yang konsen menafsirkan, menjabarkan, dan mengembangkan pemikiran beliau dalam ribuan halaman karya ilmiah di bidang hukum Islam.

2.2.2 Pengertian dan Ajaran Mazhab

Mazhab Syafi’i artinya adalah pendapat imam Syafi’i tentang masalah suatu hukum yang beliau ambil dari Al-Qur’an dan Hadist berdasarkan analisis dan Ijtihad beliau. Selanjutnya bila seseorang dikatakan bermazhab Syafi’i maka artinya orang tersebut mengikuti jalan fikiran atau pendapat Syafi’i tentang masalah yang beliau ambil dari Al-Qur’an dan Hadist (Tohir, 1983).

Mazhab Syafi’i terdiri dari dua macam, hal tersebut didasarkan pada masa dan tempat beliau mukim. Yang pertam adalah Qaul Qodim, yaitu mazhab yang dibentuk sewaktu beliau hidup di Irak, dan yang kedua adalah Qaul Jadid, yakni mazhab yang dibentuk sewaktu beliau hidup di Mesir yaitu setelah pindah dari Irak. Keistimewaan Imam Syafi’i dibandingkan deng an Imam yang lainnya adalah beliau merupakan peletak batu pertama ilmu Ushul Fiqh dengan kiitabnya Ar Risalah serta kitab Al-Umm dalam bidang Fiqh yang menjaid induk dari mazhabnya (Mansur, 1984).

Qaul Qodim merupakan pendapat-pendapat Imam Syafi’i yang dihasilkan dari perpaduan antara mazhab iraqy yang bersifat rasional dan pendapat Ahlu al-Hadist yang bersifat tradisional, tetapi fiqh yang demikian lebih sesuai terhadap ulama-ulama yang datang dari berbagai negara Islam ke Makah pada saat itu, mengingat situasi dan kondisi negara-negara yang sebagian ulamanya datang ke Makah pada waktu itu berbeda-beda satu sama lain. Mereka dapat memilih pendapat yang sesuai dengan kondisi negaranya. Hal tersebut juga menyebabkan pendapat Imam syafi’i mudah diterima dan tersebar ke berbagai negara Islam. Kedatangan Imam Syafi’i kedua kalinya ke Irak hanya beberapa bulan saja tinggal disana dan kemudian pergi ke Mesir, di mesir inilah tercetus Qaul jadid yang didektekannya kepada muridnya di Mesir. Qaul jadid Imam Syafi’i ini dicetuskan setelah bertemu dengan para ulama Mesir dan mempelajari fiqih dan hadist dari mereka serta adat istiadat, situasi dan kondisi masyarakat Mesir pada waktu itu, sehingga Imam Syafi’i merubah sebagian hasil ijtihadnya yang telah difatwakan di Irak (Huzaemah, 1997).

Pokok-pokok fiqih Syafi’i ada lima:

  1. Al-Qur’an dan Al-Sunnah

Imam Syafi’i memandang al-Qur’an dan al-Sunnah berada dalam satu martabat. Beliau menempatkan al-Sunnah sejajar dengan al-Qur’an, karena menurut beliau Sunnah menjelaskan al-Qur’an kecuali hadits ahad tidak sama nilainya dengan al-Qur’an dan hadits mutawatir.

Imam Syafi’i dalam menerima hadits ahad mensyaratkan sebagai berikut :

I.            Perawinya terpercaya

II.            Perawinya berakal

III.            Perawinya dhabith (kuat ingatannya)

IV.            Perawinya benar-benar mendengar sendiri hadits itu dari orang yang menyampaikan kepadanya.

V.            Perawinya tidak menyalahi para ahli ilmu yang meriwayatkan hadits tersebut.

  1. Al-Ijma’

Imam Syafi’i mengatakan, bahwa ijma’ adalah hujjah dan beliau menempatkan ijma’ sesudah al-Qur’an dan al-Sunnah sebelum qiyas.

  1. Pendapat sahabat yang tidak ada yang menentangnya.
  2. Ikhtilaf sahabat Nabi
  3. Qiyas

Kitab-kitab Imam Syafi’i baik yang ditulisnya sendiri ataupun didektekan kepada muridnya maupun yang dinisbahkan kepadanya antara lain sebagai berikut (Huzaemah, 1997):

  1. Kitab al-Risalah, tentang ushul fiqh.
  2. Kitab al-Umm, sebuah kitab fiqh yang didalamnya dihubungkan pula sejumlah kitabnya.
  3. Kitab al-Musnad, berisi hadist-hadist yang terdapat dalam kitab al-Umm yang dilengkapi dengan sanad-sanadnya.
  4. Al-Imla’
  5. Al-Amaliy.
  6. Harmalah (dinisbahkan pada muridnya yang bernama Harmalah ibn Yahya).
  7. Mukhtashar al-Muzaniy (dinisbahkan kepada Imam Syafi’i).
  8. Mukhtashar al-Buwaithiy (dinisbahkan kepada Imam Syafi’i).
  9. Kitab Ikhtilaf al-Hadist (penjelasan Imam Syafi’i tentang hadist-hadist Nabi SAW).

Daerah-daerah yang yang menganut mazhab Syafi’i adalah Libia, Mesir, Indonesia, Philipina, Malysia, Somalia, Arabia selatan, Palestina, Yordania, Libanon, Siria, Irak, Hijaz, Paistan, India, Sunni-Rusia, Yaman, jazirah Indo China.

2.3 Mazhab Hambali

2.3.1 Pendiri Mazhab

            Pendiri mazhab Hanbali adalah Al-Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal Azzadahili Assyaibani. Beliau dilahirkan di bagdad pada tahun 164 H dan wafat tahun 241 H. Ahmad bin Hanbal adalah seorang imam yang banyak berkunjung ke berbagai negara untuk mencari ilmu pengetahuan. Imam Ahmad ibn Hanbal adalah Imam keempat dari fuqoha’ Islam. Ia adalah seorang yyeng memiliki sifat-sifat luhur dan budi pekerti yang tinggi. Ibnu hanbal terkenal wara’, zuhud, amanah dan sangat kuat berpegang kepada yang hak serta ia hafal al-Qur’an dan mempelajari bahasa.

Awal mulanya Imam Ahmad Ibnu Hanbal belajar ilmu fiqh pada Abu Yusuf sallah seorang murid Abu Hanifah, kemudian beliau beralih untuk belajar hadist. Karena tidak henti-hentinya dalam belajar hadist, sehingga ia banyak bertemu dengan para Syaikh  Ahl al-Hadist. Ia menulis hadist dari guru-gurunya dalam sebuah buku sehingga ia terkenal sebagai seorang imam al-Sunnah pada masanya. Imam Ahmad bin Hanbal juga belajar fiqh dari dari Imam Syafi’i dan Imam Syafi’i belajar hadist dari Imam ibn Hanbal. Imam Ahmad bin Hanbal adalah salah seorang murid Imam Syafi’i yang paling setia, sehingga ia tidak pernah berpisah dengan gurunya emenapun kecuali setelah Imam Syafi’i pindah ke Mesir (Huzaemah, 1997).

Pada mulanya Imam Ahmad mengikuti mazhab gurunya, yaitu Imam Syafi’i. Tetapi setelah beliau merasa mampu berijtihad sendiri maka beliau melepaskan dirinya dari ikatan mazhab gurunya tersebut dan selanjutnya berijtihad dan membentuk mazhab sendiri. Sebagai induk bagi mazhabnya beliau menulis kitab Al-Musnad (Mansur, 1984).

Imam Ahmad banyak mempelajari dan meriwayatkan hadist dan beliau tidak mengambil hadistkecuali hadist-hadist yang sudah jelas sahihnya. Pada masa pemerintahan Al Mu’tashim, khalifah abbasiyah, beliau sempat dipenjara karena sependapat dengan opini yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk dan dibebaskan pada masa Khalifah Al-Mutawakkil. Imam Ahmad wafat pada usia 77 tahun pada masa pemerintahan Khalifah Al-Wathiq. Sepeninggal beliau, mazhab Hanbali berkembang luas dan salah satu mazhab yang memiliki banyak penganut (Jalaludin, 2002).

2.2.2 Pengertian dan Ajaran Mazhab Hambali

            Mazhab Hanbali merupakan mazhab yang mengikuti Imam Ahmad Ibn Hanbal, ia lebih menitikberatkan kepada hadist dalam berijtihad dan tidak menggunakan ra’yu dalam berijtihad kecuali dalam keadaan darurat, yaitu ketika tidak ditemukan hadist, walaupun hadist dhaif yang terlalu dhaif, yakni hadist dhoif yang tidak diriwayatkan oleh pembohong (Huzaemah, 1987).

Dasar-dasar hukum yang dijadikan sumber dalam mengistimbatkan hukm adalah (Mansur, 1984):

  1. Nash Al-Qur’an atau nash hadist, yaitu apabila beliau menemukan nash baik dari Al-Qur’an maupun hadist beliau tidak lagi memperhatikan dalil-dalil yang lain dan tidak pula memperhatikan pendapat-pendapat para sahabat.
  2. Fatwa sebagian sahabat, yaitu jika beliau tidak mendapatkan nash maka beliau berpegang teguh pada fatwa sahaby jika fatwa tersebut tidak ada yang menantangnya.
  3. Pendapat sebagian sahabat, beliau memandang pendapat sebagian sahabat sebagai dalil hukum. Jika terdapat beberapa pendapat dalam suatu masalah maka beliau mengambil pendapat yang lebih dekat kepada Kitab dan Sunnah.
  4. Hadist mursal atau hadist dhhoif, hal ini dipakai jika hadis tersebut tidak berlawanan dengan suuatu atsar atau pendapat seorang sahabat.
  5. Qiyas, jika beliau tidak memperoleh sesuatu dasar diantarayang tersebut di atas maka dipergunakanlah qiyas.

Kitab-kitab Imam Hambali selain seorang ahli mengajar dan ahli mendidik, ia juga`seorang pengarang. Beliau mempunyai beberapa kitab yang telah disusun dan direncanakannya, yang isinya sangat berharga bagi masyarakat umat yang hidup sesudahnya. Di antara kitab-kitabnya adalah sebagai berikut (Huzaemah, 1997):

  1. Kitab Al-Musnad.
  2. Kitab Tafsir al-Qur’an.
  3. Kitab al-Nasikh wa al-Mansukh.
  4. Kitab al-Muqqodam wa al-Muakhkar fi al-Qur’an.
  5. Kitab Jawabul al-Qur’an
  6. Kitab al-Tarikh
  7. Kitab Manasiku al-Kabir
  8. Kitab Manasiku al-Shagir
  9. Kitab Tha’atu al-Rasul
  10. Kitab al-‘illah
  11. Kitab al-Shalah

Daerah-daerah yang yang menganut mazhab Hambali adalah Libia, Mesir, Indonesia, Saudi , Arabia, Palestina, Syria, Irak, Jazirah Arab.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Ada pun kesimpulan dari makalah tentang mazhab Syafi’i dan Hambali sebagai berikut :

Mazhab Syafi’i didirikan oleh Muhammad ibn Idris Al-Syafi’i Al-Quraisy yang seringkali dikenal dengan sebutan Imam Syafi’i, dan untuk mazhab Hanbali merupakan mazhab yang mengikuti Imam Ahmad Ibn Hanbal.

Dari ke dua mazhab memiliki metode yang berbeda sebagai berikut :

  1. Mazhab syafi’i ada lima:
    1. Al-Qur’an dan Al-Sunnah
    2. Al-Ijma’
    3. Pendapat sahabat yang tida ada yang menentangnya.
    4. Ikhtilaf sahabat Nabi
    5. Qiyas
    6. Mazhab Hambali ada lima :
      1. Nash Al-Qur’an atau nash hadist,
      2. Fatwa sebagian sahabat
      3. Pendapat sebagian sahabat
      4. Hadist mursal atau hadist dhhoif.
      5. Qiyas

Dari ke dua mazhab menulis kitab-kitabnya  sebagai berikut :

  1. Mazhab Syafi’i ialah :
    1. Kitab al-Risalah, tentang ushul fiqh.
    2. Kitab al-Umm, sebuah kitab fiqh yang didalamnya dihubungkan pula sejumlah kitabnya.
    3. Kitab al-Musnad, berisi hadist-hadist yang terdapat dalam kitab al-Umm yang dilengkapi dengan sanad-sanadnya.
    4. Al-Imla’
    5. Al-Amaliy.
    6. Harmalah (dinisbahkan pada muridnya yang bernama Harmalah ibn Yahya).
    7. Mukhtashar al-Muzaniy (dinisbahkan kepada Imam Syafi’i).
    8. Mukhtashar al-Buwaithiy (dinisbahkan kepada Imam Syafi’i).
    9. Kitab Ikhtilaf al-Hadist (penjelasan Imam Syafi’i tentang hadist-hadist Nabi SAW).
    10. Mazhab Hambali ialah :
      1. Kitab Al-Musnad.
      2. Kitab Tafsir al-Qur’an.
      3. Kitab al-Nasikh wa al-Mansukh.
      4. Kitab al-Muqqodam wa al-Muakhkar fi al-Qur’an.
      5. Kitab Jawabul al-Qur’an
      6. Kitab al-Tarikh
      7. Kitab Manasiku al-Kabir
      8. Kitab Manasiku al-Shagir
      9. Kitab Tha’atu al-Rasul
      10. Kitab al-‘illah
      11. Kitab al-Shalah

 

 DAFTAR PUSTAKA

Al-Mansur.1984. Keduduan Mazhab Dalam Syari’at Islam. Jakarta: Indonesia

Asy Syak’ah, Mustofa Muhammad.1995. Islam Tidak Bermazhab Cet. 2,Jakarta: Gema Insani Press

Huzaemah. 1997. Pengantar Perbandingan Mazhab. Jakarta: Logos

Jalaludin. 2002. Dahulukan Akhlak diatas Fikih. Bandung. Mutahhari Press

Mustofa Al Maraghi, Abdullah, 2001. Pakar Pakar Fiqih Sepanjang Sejarah, Cet. 1. Yogyakarta : LKPSM

Sirry, Mun’im A. 1996. Sejarah Fiqih Islam Sebuah Pengantar, Cet.2, Surabaya : Risalah Gusti

 

23 Mei 2011 Posted by | Tak Berkategori | Tinggalkan komentar